13 Nov 2020

Pakar Hukum Tata Negara: Keterlibatan TNI Dalam Penindakan Terorisme Tidak Boleh Tumpang Tindih

ACEHTREND.COM, Banda Aceh– Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H. mengatakan, pelibatan TNI dalam penindakan tindak pidana terorisme dapat saja dilakukan selama tidak tumpang tindih.

“Saya kira TNI dapat saja dilibatkan dalam penanggulangan kasus terorisme, namun perlu diperhatikan juga bagaimana pelibatan tersebut agar dapat dipertanggungjawabkan, yang pertama, tidak tumpang tindih dengan fungsi yang dilaksanakan oleh Polri, kedua, tidak terjadi dua kendali dalam kegiatan operasi penindakan kejahatan terorisme, dan ketiga, adanya pengawasan dan akuntabilitas dalam mengawal kegiatan itu sendiri,”Jelas M. Gaussyah dalam diskusi dengan tema, “Menimbang Keterlibatan TNI dalam Penindakan Terorisme di Indonesia“, Rabu (21/10/20), melalui zoom meeting, di Darussalam, Banda Aceh.

Diskusi publik virtual ini diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNSYIAH  bekerjasama dengan Jaringan Survey Inisiatif dan Analisa Demokrasi Institute. Kegiatan webinar ini dimoderatori oleh Staf Kantor Sekretariat Presiden Mufti Makarim. Menghadirkan narasumber, Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK) Unsyiah Dr. Otto Syamsuddin Ishak, Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie, dan Ahli Hukum Tata dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H.

Gaussyah menuturkan, Konstitusi telah mengamanatkan, usaha dan pelibatan dalam bidang pertahanan dan keamanan bukan hanya dibebankan kepada TNI-Polri, namun juga kepada seluruh komponen bangsa yang memiliki kewajiban untuk terlibat, hanya saja levelnya menjadi berbeda baik dalam hal pencegahan maupun penanggulangannya.

“Tiap-­tiap warga  negara berhak dan  wajib ikut  serta dalam usaha  pertahanan dan keamanan negara, ini amanat UUD 1945.”ujar Gaussyah, yang juga Wakil Dekan III Fakultas Hukum Unsyiah.

Gaussyah menambahkan, jika membaca Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, peran TNI terbatas pada bidang pertahanan.

“Di mana, TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, nah aturan ini terkesan bersifat limitatif.”tambahnya.

Menurut Gaussyah fungsi defence dan fungsi security  merupakan dua hal berbeda. Fungsi pertahanan sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam UU TNI, di mana TNI berfungsi sebagai penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.

Selain itu, TNI sebagai penindak terhadap setiap bentuk ancaman dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.

Sebabnya menurut Gaussyah, dalam hal ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri yang mengganggu kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa, TNI merupakan komponen utama sistem pertahanan negara.

“Jika bentuk teror dan ancaman itu datang dari luar negeri maupun dalam negeri yang mengganggu kedaulatan negara, TNI harus hadir, karena hadirnya TNI menandai hadirnya negara, karena negara lah memberikan perlindungan kepada warga negara.”tandasnya.

Nah, selama ini menurut Gaussyah, pelibatan TNI sudah dilakukan, pun melibatkan Sat 81 Gultor Kopassus, Sat Bravo, dan Den Jaka dalam beberapa kasus terorisme, diantaranya di luar negeri, seperti penugasan membebaskan WNI yang disandera bajak laut Somalia pada 2011 silam.

Apalagi sekarang tutur Gaussyah, Pemerintah telah membentuk Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia (Koopsus TNI) dari matra darat, laut, dan udara yang memiliki kemampuan khusus dengan tingkat kecepatan gerak dan keberhasilan tinggi.

Gaussyah juga singgung pelibatan TNI di Poso, Sulawesi Tengah. “Keterlibatan TNI bukanlah hal baru dalam operasi terorisme, misalnya; operasi Tinombala untuk menumpas kelompok Mujahiddin Indonesia Timur atau MIT di Poso, pun konflik Aceh dalam Darurat Militer dan Darurat Sipil TNI juga terlibat, hal tersebut dilakukan karena Polri membutuhkan bantuan TNI, dan mengenai tugas pembantuan tersebut belum diatur dengan baik, jadi sebenarnya perlu diatur mekanisme yang baik agar TNI jangan disalahkan dan dituduh melanggar HAM.”pungkasnya.

Supaya TNI tidak disalahkan, dalam tugas menjaga kedaulatan negara dan keselamatan masyarakat, Gaussyah menyarankan, perlu diatur mekanisme perencanaan, pelaksanaan operasi, hubungan operasi antara TNI dan Polri, serta mekanisme pertanggungjawabannya.

Kemudian Gaussyah juga menyinggung tugas pokok TNI tidak hanya operasi militer untuk perang, namun juga operasi militer selain perang (OMSP). Gaussyah mencontohkan salah satu tugas pokok OMSP adalah mengatasi aksi terorisme. “TNI mengatasi aksi terorisme ini harus jelas, apakah istilah mengatasi itu juga ikut melakukan penindakan hukum atau juga terlibat dalam pencegahan, jangan sampai nanti disalah artikan.”imbuhnya.

Integrated criminal justice system

Dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Penetapan atas Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang mengatakan bahwa, tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan daiam Undang-Undang ini.

Dalam Pasal 25 UU Nomor 5 Tahun 2018 mengatur, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara Tindak Pidana Terorisme dilakukan berdasarkan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam UU ini.

“Artinya apa, proses penyelesaian tindak pidana terorisme sesuai dengan Integrated criminal justice system, di mana sistem peradilan pidana itu mengatur proses penegakan hukum pidana dari hulu ke hilir, dari penyelidikan sampai dengan pemasyarakatan, mulai terlibatnya polisi, jaksa, advokat, hakim hingga petugas Lapas, nah bagaimana jika TNI dilibatkan dan apabila terjadi salah prosedur di mana orang akan menggugat, dan hal dapat berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.’katanya.

Dan menurut Gaussyah TNI bukan merupakan Integrated criminal justice system yang disebutkan dalam undang-undang.

Dalam UU juga dijelaskan, dalam upaya pencegahan tindak pidana terorisme, Pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus menerus yang dilandasi dengan prinsip pelindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian.

“Menurut saya untuk penegakan hukum tetap dapat dilakukan oleh Polri, namun untuk pencegahan, aksi kontra radikalisasi yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan sangat mampu dilakukan oleh TNI, apalagi TNI mamiliki kemampuan dalam kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra ideologi.”ujarnya.

Sebelum menutup sesi pembicaraan, Gaussyah mengatakan kondisi terorisme sudah pada taraf yang membahayakan dan merupakan kejahatan yang luar biasa atau extraordinary crime, maka yang harus dilakukan adalah penegakan hukum yang luar biasa atau extraordinary law.

“Indonesia sebenarnya tidak hanya darurat narkoba akan tetapi juga darurat terorisme,’Saya rasa banyak hal yang dilakukan oleh Densus 88 yang tidak diketahui publik, terkait memetakan jaringan-jaringan terorisme, melakukan penindakan terhadap tindak pidana terorisme yang kini sudah merembet ke daerah-daerah, walaupun kita tidak membacanya di media, dan hal ini menjadi tanggung jawab Polri sebagai pemeliha ketertiban dan keamanan masyarakat.”tutupnya.

Sumber

Tinggalkan Balasan